(",)

Kamis, 27 Desember 2012

hanya senilai Segelas Air

SUATU hari tampak Khalifah Harun AI-Rasyid salah seorang Khalifah dari Dinasti Bani Abbasiyah yang terkenal dengan kebaikan dan kesolehannanya, seorang khalifah yang sangat tawaddu'.

Suatu hari beliau duduk dengan gelisah dan tidak tahu apa sebabnya, tampak duduknya tidak tenang, sekali-kali berdiri dan kemudian duduk kembali begitu seterusnya. Khalifah Harun Al- Rasyid memerintahkan salah seorang pengawalnya untuk mengundang seorang ulama 'yang sholeh dan tawaddu' pada masa itu, seorang ulama' yang tidak pernah mau dekat dan menerima jabatan apapun dari Khalifah dan hal itu membuat Khalifah Harun AI-Rasyid sangat menghormatinya, yaitu Abu As Sammak.

Ketika Abu As Sammak datang kehadapannya, Khalifah langsung berkata "nasehatilah aku, wahai Abu As Sammak, ulama' yang baik dan berpendirian teguh," demikian mulia permohonan dari Khalifah yang mempunyai kekuasaan tiada banding kala itu kepada seorang ulama yang sangat bersahaja datang kehadapannya dengan berjalan kaki.

Pada saat itu datang seorang pelayan dengan membawa segelas air untuk Khalitah Harun AI-Rasyid, dan ketika dia bersiap untuk meminumnya, Abu As-Sammak berkata : "Tunggu sebentar wahai Amirul Mukminin. Demi Allah, aku mengharap agar pertanyaanku dijawab dengan kejujuranmu. Seandainya anda berada dalam kehausan yang tak tertahan lagi, tapi segelas air ini tak dapat anda minum, berapa harga yang bersedia anda bayar demi melepaskan dahaga?".

"Setengah dari yang kumiliki," ujar sang Khalifah dan langsung meminum segelas air tersebut. Beberapa saat kemudian setelah sang Khalifah meminum segelas air tersebut, Abu As- Sammak bertanya kembali, "seandainya apa yang telah anda minum tadi tak dapat keluar kembali, sehingga mengganggu kesehatan anda, berapakah anda bersedia membayar untuk kesembuhan anda?".

"Setengah dari yang kumiliki," jawab Khalifah Harun AI- Rasyid tegas. "Ketahuilah bahwa seluruh kekayaan dan kekuasaan di dunia yang nilainya hanya seharga segelas air tidak wajar diperebutkan atau dipertahankan tanpa hak dan kebenaran," kata Abu As Sammak kepada Khalifah Harun AI-Rasyid.

Khalifah Harun AI-Rasyid yang kekuasaannya meliputi negara yang amat luas dan Bani Abbasiyah dalam puncak kejayaan membenarkan ucapan Abu As Sammak, demikian agung dan jujur Khalifah Harun Al- Rasyid begitu juga dengan Abu As Sammak yang berani dan tegas terhadap penguasa.

sumber : Sabili

Jumat, 14 Desember 2012

Ka'ab bin Malik : "saya tidak punya alasan"

Implementasi al-wala' wal baro` dalam kehidupan nyata seringkali difahami salah atau tidak tergambar dalam benak kaum muslimin bagaimana sesungguhnya. Marilah kita tengok kisah nyata sebagai teladan yang baik bagi kita dalam hal ini.

Adalah Ka’ab bin Malik seorang shahabat mulia diantara 3 shahabat yang tertinggal dalam perang Tabuk. Ia sangat menyesal dengan absennya pada ibadah jihad yang mulia ini, rasa penyesalan yang tiada terkira karena ia benar-benar tertinggal dari pasukan yang berangkat akibat kelalaiannya dia sendiri dengan mengulur-ulur waktu dalam mempersiapkan keberangkatannya. Rasa sedih yang mendalam yang dia alami, ia pula merasa seakan sudah menjadi seorang munafik sebagaimana orang-orang munafik lainnya yang dengan sengaja menghindar dari “kewajiban” ini, apalagi jika ia teringat bahwa untuk perang yang satu ini Rasûlullâh saw sendiri menyerukan mobilisasi umum kepada kaum muslimin saat itu dan instruksi untuk mendermakan harta sebagai infâq fî sabîlillâh bagi perbekalan pasukan untuk perang yang besar ini. 

Disaat orang-orang munafik yang jumlahnya lebih dari 80 orang menghadap Rasûlullâh saw dan mengutarakan alasan-alasan mereka dengan kedustaan dan kebohongan. Ka’ab bin Malik datang menemui Nabi saw yang mulia guna menyampaikan alasan ketidak-ikutsertaannya. Ia sebenarnya bisa memberikan alasan yang bisa dibuat-buat dengan berdusta, dan Rasûlullâh saw akan membenarkan perkataanya. Tetapi ia bukanlah seorang munafik, ia sadar bahwa ALLÂH tidak mungkin untuk ditipu dan Rasûlullâh saw tidak semestinya dikhianati. Ia rela apapun yang akan terjadi dan hukuman yang bakal diterimanya, karena memang ia seorang mukmin dan mujahid sejati, sehingga dengan jujur dia berkata “…… Demi ALLÂH , saya tidak memiliki alasan apapun….”.

Inilah dia sekarang harus menerima sanksi yang diberikan Rasûlullâh saw dan para shahabatnya atas ketidak ikutsertaanya dalam perang Tabuk. Hari-hari yang membuatnya bertambah kesedihannya,bukan semata-mata dari hukumannya itu sendiri, akan tetapi sebagai seorang mukmin yang sesungguhnya, ia khawatir digolongkan orang-orang munafiq dan ALLAH Azza wa Jalla tidak mengampuni kesalahannya. Pekan-pekan berlalu ia lalui dengan tubuh yang gontai, jiwa yang selalu gelisah dan perasaan pilu karena Rasûlullâh saw tidak pernah menjawab lagi salam yang diucapkannya,… Demikian pula para shahabat yang lain, tidak satupun dari mereka menjawab salamnya atau walau hanya sekedar berbicara sepatah dua patah kata, mereka membisu dan membuang muka tidak menghiraukannya, seolah dia adalah sebongkah batu yang tidak layak diajak berbicara. Begitulah, karena hal itu memang atas perintah dari Rasûlullâh saw yang melarang untuk berbicara dengan mereka bertiga, Dan yang demikian membuat hati-hatinya terasa diiris-iris, karena dia khawatir sudah tidak digolongkan orang mukmin lagi.

Ka’ab bin Malik menceritakan sendiri apa yang dialaminya, ”kami tetap dalam keadaan seperti itu selama 50 hari. Kedua shahabatku tetap patuh tinggal dirumah masing-masing sambil selalu menangis, sedangkan aku adalah yang paling muda dan paling tabah. Maka akupun tetap keluar mengikuti shalat jama’ah bersama kaum muslimin dan berkeliling dipasar-pasar, akan tetapi tak ada seorangpun yang mengajak berbicara denganku, aku mendatangi Rasûlullâh saw, aku mengucapkan salam kepada beliau yang saat itu sedang duduk sehabis shalat. aku berkata dalam hati,”apakah beliau menggerakkan bibirnya untuk membalas salamku atau tidak ?”. Kemudian aku shalat didekat beliau, aku ikuti pandangan beliau sambil sambil, ternyata disaat aku shalat, beliau selalu memandangku, akan tetapi setelah aku shalat dan aku menoleh kepadanya, beliaupun membuang muka… “ 

Ia melanjutkan kisahnya “… demikianlah keadaan seperti itu berlangsung lama, dimana kaum muslimin tak mengacuhkan aku. Suatu hari aku berjalan kerumah Abu Qotadah dan memanjat pagar rumahnya, ia adalah anak pamanku dan orang yang paling aku cintai. Kemudian aku ucapkan salam kepadanya. Demi ALLÂH , ia sama sekali tidak menjawab salamku. Lalu kukatakan “ Hai Abu Qotadah, semoga ALLÂH membimbingmu, apakah engkau tahu sesungguhnya aku mencintai ALLÂH dan Rasul-Nya ?.... namun Abu Qotadah diam membisu. Selanjutnya kuulangi ucapanku yang pertama, namun ia tetap tidak menjawab. Maka hal itu kuulangi sekali lagi, tetaapi ia tidak memberikan jawaban. Lalu Abu Qotadah berujar “ALLÂH dan Rasul-Nya lebih mengetahui”….. Maka kedua mataku pun menangis mencucurkan air mata, lalu akupun pergi meninggalkan dinding itu…
Dan ketika berjalan dipasar Madinah, tiba-tiba ada seseorang dari penduduk syam (syiria) menawarkan makanan yang dijualnya di Madinah. Orang itu berkata, “siapakah yang dapat menunjukkan aku kepada Ka’ab bin Malik ?”. Maka orang-orangpun menunjukkannya dengan mengisyaratkan tangan kearahku. Maka iapun menemuiku dan menyerahkan surat dari raja Ghossan. akupun membacanya yang isinya : ….Amma ba’du, kami telah mendengar berita, bahwasannya shahabatmu (Muhammad) telah mengucilkanmu. Dan sesungguhnya ALLÂH tidak menjadikanmu dinegeri ini hina dan sia-sia. Oleh karenannya bergabunglah dengan kami, aku akan menolongmu”

Begitulah ia harus melewati hari-harinya yang pahit, waktu yang panjang yang harus dia lalui dalam kesedihan, rasa cemas dan gelisah. Sikap Rasûlullâh saw dan kaum muslimin kepadanya sudah membuatnya pilu. Bumi yang luas dirasakannya telah menjadi sempit baginya. Tiada hari yang ia lalui kecuali dengan jeritan hati kepedihan… tiada malam yang dilewati kecuali dengan perasaan sedih. Kini ujianpun bertambah pula, Ghossan, yang merupakan raja orang-orang nasrani di syam yang selama ini memusuhi kaum muslimin, turut memanfaatkan situasi ini. Kini ia dibujuk untuk bergabung dengan musuh yang selama ini pula ia berperang melawannya…. Rayuan yang halus dengan tawaran yang menjanjikan untuk kehidupannya… sebuah ujian berat yang semakin menambah ujian yang selama ini sudah ia derita.

Namun ia seorang mukmin sejati. Kejujurannya dihadapan Rasûlullâh saw atas ketidak ikutsertaannya dalam perang tabuk cukup menjadi modal untuk selalu mendahulukan ALLÂH ,Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Bujukan dunia dan materi yang menggiurkan tidak membuatnya goyah, ia tetap tegar menunggu keputusan ALLÂH dari atas langit apa yang akan dia terima dengan kesalahannya. Ia lebih mencintai orang-orang mukmin dan mengharap keridhaan ALLÂH dan Rasul-Nya. Dengarlah teladan kita ini apa yang dia katakan ketika selesai membaca surat itu. ia berkata, “Demi ALLÂH …! ini juga termasuk ujian”…. Subhaanallah, ucapan keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip kecintaan dan permusuhan yang terpatri dalam jiwanya yang luhur…. dan tak cukup disitu, sejurus kemudian ia juga membakar surat itu diperapian. 

Setelah mereka bertiga ditempa dengan ujian demi ujian keimanan, ALLÂH pun menerima taubat mereka pada hari ke 50. Pengampunan dan sekaligus penghargaan yang datang dari atas langit ketujuh dengan turunnya ayat 118 surah at-taubah.

Pelajaran dan ‘ibroh yang besar bagi kita dari jiwa-jiwa yang agung dalam sejarah islam, seharusnya menjadi teladan yang senantiasa ada dalam kehidupan nyata kita hari ini. Hal itu tidaklah mustahil, asalkan kita tetap memegang prinsip-prinsip yang benar yang ditunjukkan oleh ajaran Islam. 

Selain contoh sikap al-wala' dan al-baro' diatas, contoh kejujuran dan keteguhan menjadi sorotan pelajaran yang harus ditiru. Disamping kita coba memahami kembali betapa besar dosa dan kesalahan bagi orang-orang yang meninggalkan jihad tanpa udzur syar'i dikala jihad fardlu ‘ain sebagaimana perang tabuk kala itu, yang seharusnya kita berkaca untuk memperhatikan kewajiban jihad hari ini yang juga sudah merupakan fardlu ‘ain, sampai kembalinya tanah terakhir kepangkuan islam dari tanah-tanah yang dahulunya ditegakkan syari’at islam.

Wallahu a’lam.

*** Rujukan : Tafsir Ibnu Katsir (surah attaubah : 118) ; Al-wala walbaro fil-islam (syekh Muhammad Said bin al-Qahthani) ; dan Dibawah Naungan surah at-taubah (syekh Abdullah Azzam rahimahullah).

Hotel Anti Bencana

Ancaman pemanasan global, saat ketinggian permukaan laut diperkirakan naik secara ekstrim dan menenggelamkan sebagian planet Bumi, menjadi inspirasi perusahaan arsitektur Rusia, Remistudio. Dalam program arsitektur penanggulangan bencana International Union of Architects, Remistudio merancang sebuah hotel yang bisa berperan sebagai bahtera penyelamat, kalau-kalau bencana dahsyat terjadi. Namanya, Ark Hotel. Bisa didirikan di laut atau darat.
Ark Hotel,konsep Bahtera Nabi Nuh,Kalau Bumi Tenggelam hotel ini tetap selamat
Ini mungkin terdengar seperti perpaduan kisah bahtera Nabi Nuh dan cerita film fiksi ilmiah tahun 1970-an. Namun, hotel berbentuk kerang ini memang didesain tahan yang banjir akibat kenaikan ekstrim permukaan air laut. Juga terhadap gelombang. Ark Hotel dapat mengapung dan timbul secara otomatis di permukaan air.
Tak hanya itu, hotel ini juga tahan gempa, dan bisa didirikan di daerah yang berbahaya secara seismik. Arsiteknya mengklaim, desain yang terdiri dari konstruksi busur dan kabel dengan bantalan bisa mendistribusikan berat secara merata saat terjadi lindu. Selain itu, struktur bawah tanahnya berbentuk tempurung, tanpa tepian atau sudut. Hotel raksasa yang mengambang ini diklaim juga sebagai ‘biosfer’, surga yang nyaman bagi para penghuninya, bahkan saat bencana sekalipun.
Ark Hotel,konsep Bahtera Nabi Nuh,Kalau Bumi Tenggelam hotel ini tetap selamat
Desain hotel futuristik ini menggunakan panel matahari dan instalasi pengumpul air hujan, menjamin ketersediaan energi, juga air bagi para penghuninya. Lingkungan yang mirip rumah kaca juga memungkinkan tanaman tumbuh subur, membantu meningkatkan kualitas udara dan juga menyediakan makanan.
Selain itu, strukturnya yang tembus pandang membuatnya hemat energi di siang hari. Cukup memanfaatkan energi matahari. Untuk memastikan kualitas cahaya, bingkai kaca dilengkapi pembersih otomatis. Menurut Alexander Remizov dari Remistudio, ada dua pertimbangan utama dalam desain ini.
Ark Hotel,konsep Bahtera Nabi Nuh,Kalau Bumi Tenggelam hotel ini tetap selamat
“Pertama, meningkatkan pengamanan dan pencegahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim dan perubahan iklim. Yang kedua adalah melindungi lingkungan alam dari aktivitas manusia,” kata dia, seperti dimuat Daily Mail, 10 Januari 2011.Bahtera ini juga dimaksudkan untuk menjawab tantangan lingkungan global saat ini. Juga untuk mendukung sistem pertahanan hidup.
Ark Hotel,konsep Bahtera Nabi Nuh,Kalau Bumi Tenggelam hotel ini tetap selamat
“Semua tanaman dipilih yang sesuai, efisiensi pencahayaan, dan produksi oksigen. Juga bertujuan untuk menciptakan ruang yang menarik dan nyaman,” kata dia. Remizov menambahkan, atap hotel yang transparan menjamin ada cukup cahaya bagi tanaman dan untuk menerangi interior. Perancangnya mengklaim, Ark Hotel bisa didirikan hanya dalam waktu beberapa bulan di seluruh bagian dunia. “Bagian-bagiannya bisa disatukan dalam waktu tiga sampai empat bulan,” kata Remizov.
Hingga kini hotel ini masih berbentuk rancangan, para arsiteknya sedang mencari investor untuk membuatnya nyata. Selain jadi hotel yang nyaman untuk rehat, Ark Hotel bisa menjelma menjadi lokasi pengungsian di masa depan

Memberi Pinjaman Kepada Allah

Kisah yang patut direnungkan. Semoga bisa memotivasi kita untuk berinfaq di jalan Allah.
Allah Ta’ala berfirman,


مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ

Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al Hadid: 11)
‘Umar bin Khottob mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah berinfaq di jalan Allah. Ada pula yang mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah memberi nafkah pada keluarga.

Yang tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir bahwa yg dimaksudkan dengan ayat ini adalah berinfaq di jalan Allah secara umum (baik itu di jalan Allah atau menafkahi keluarga) dengan niat yg ikhlas dan tekad yg jujur, ini semua tercakup dlm ayat di atas.

Ayat di atas semisal dengan firman Allah Ta’ala,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al Baqarah: 245)

Kisah Abu Dahdaa

‘Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa tatkala turun ayat di atas (surat Al Hadid ayat 11), Abud Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.”
Kemudian Abud Dahdaa pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada Rabbku kebunku. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.

Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai Ummud Dahdaa!” “Iya,” jawab istrinya.
Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah dari kebun ini. Aku baru saja memberi pinjaman kebun ini pada Rabbku.”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.”
Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi, begitu pula anak-anaknya.
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terkagum dengan Abud Dahdaa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud Dahdaa di surga.” Dalam lafazh yang lain dikatakan, “Begitu banyak pohon kurma untuk Abu Dahdaa di surga. Akar dari tanaman tersebut adalah mutiara dan yaqut (sejenis batu mulia).”
(Riwayat ini adalah riwayat yang shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu Hibban dalam Mawarid Zhoma’an)
Masya Allah …Adakah di antara kaum muslimin saat ini yang bisa memberi pinjaman di jalan Allah seperti ini?

Inilah investasi yg baik di jalan Allah. Ini bukan berarti Allah butuh pada pinjaman seorang hamba. Namun sebenarnya, hamba-lah yang butuh dengan hal seperti ini dan itu semua juga ia akan menuai hasilnya di akhirat. Ini adalah karunia Allah agar hamba tersebut mendapatkan ganti yanga lebih baik di akhirat kelak.

Semoga Allah memberikan kita anugerah dan berkah pada segala harta titipan-Nya yang kita investasikan di jalan Allah.

Referensi: Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Tafsir surat Al Hadiid ayat 11, 13/414-415, Muassasah Qurthubah

kisah unik dua Sahabat

Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita shalihah telah menarik perhatiannya.  Tapi bagaimanapun, Madinah bukanlah tempat ia tumbuh dewasa. Ia berpikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi urusan pelik bagi seorang pendatang seperti Salman. Maka, disampaikanlah gejolak hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

“Subhanalloh, Walhamdulillah..” senang hati Abu Darda’ mendengarnya. Setelah persiapan, beriringanlah kedua sahabat itu menuju rumah wanita sholihah yang dimaksud.

“Saya Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam. Ia juga telah memuliakan islam dengan amal dan jihadnya. Salman memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”

Dibalaslah oleh orangtua wanita shalihah tersebut, “Adalah kehormatan bagi kami menerima Anda sahabat Rasulullah yang mulia. Dan suatu penghargaan bagi kami  bermenantukan seorang sahabat yang Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”

Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini. Dengan mengharap Ridho Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Keterusterangan yang di luar prediksi. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Ironis sekaligus indah. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah  dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Yup, Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar apa yang dikatakan Salman:

“ Allahu Akbar! Semua mahar yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’ dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”


(disadur dari Buku “Jalan Cinta Para Pejuang” karya Salim A. Fillah)

Episode Qiyadah dan Jundiyah


Rasulullah SAW menunjuk ‘Amr ibn Al ‘Ash beberapa saat sesudah dia masuk Islam untuk menjadi komandan satuan yang di dalamnya bergabung para shahabat senior termasuk Abu Bakr dan ‘Umar. Malamnya, saat mereka berkemah, tiba-tiba ‘Amr memerintahkan semua memadamkan api. ‘Umar tersinggung. Terlihat olehnya pasukan itu kedinginan, dan beberapa yang lain sedang memasak makanan. ”Tidak, jangan matikan apinya!”, seru ‘Umar. Abu Bakr yang ada di sampingnya langsung menegur, ”Wahai ‘Umar, dia pemimpin yang ditunjuk Rasulullah untuk kita. Taatlah pada Allah, RasulNya, dan pemimpinmu!” ‘Umar masih menggerutu. Tetapi beberapa saat kemudian dia menyadari ‘Amr benar. Bunyi ringkik dan tapak kaki kuda patroli musuh, ratusan agaknya, terdengar begitu mengerikan. Tetapi kafilah patroli itu lewat saja. Maka Abu Bakr pun tersenyum padanya. Hari berikutnya, ‘Amr memerintahkan pasukannya berhenti di luar perkampungan kabilah yang akan diserang. ”Aku akan masuk. Jika aku tak kembali hingga mentari tergelincir, kalian serbulah ke dalam!” ‘Umar protes lagi. ”Jika kau ingin syahid, kami semua juga! Tetaplah kita bersama!” Dengan lirikan, kembali Abu Bakr mengingatkan ‘Umar. Dan ‘Umar pun patuh. Beberapa waktu kemudian, ‘Amr telah kembali bersama pemimpin kabilah yang telah masuk Islam bersama pengikutnya, atas diplomasi ‘Amr. Kabilah itu tunduk, tanpa setetes darahpun tertumpah.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari fragmen di atas. 

Pertama, bahwa Rasulullah SAW dengan jenius telah berhasil membangun basis manajemen yang sangat ampuh dalam membangun organisasi yang sangat baik. Beliau SAW tidak ragu mengangkat seorang yang baru masuk Islam untuk menjadi seorang panglima satuan yang di dalamnya terdapat para sahabat senior. Yang artinya seorang pemimpin hendaknya tahu dan dapat memilih seseorang pada posisi yang tepat disesuaikan dengan kafaahnya.

Kedua
, senioritas seseorang tidak kemudian membuat orang tersebut dapat menentukan kebijakan dan bahkan memaksakan keinginannya kepada orang yang notabene masih sangat baru dalam dakwah. Kita tahu bagaimana cerdasnya 'Umar bin Khathab, namun ternyata di balik senioritas dan kecerdasan yang dia miliki, dia harus mengakui bahwa ada orang yang lebih baik daripada dirinya dalam urusan-urusan tertentu. Kita juga dapat meneladani ketaatan dan penghargaan Abu Bakar RA terhadap pemimpin.

P
emimpin yang baik yang bisa membuat keputusan yang tepat dan memiliki al-bashirah bit tadbir (kemampuan manajemen yang baik) berhak untuk ditaati dan dipercaya oleh siapapun bawahannya. Sesenior apapun seorang bawahan, harus mampu menempatkan pemimpin dalam posisi di atas. Dan karena pengalamannya, kader senior tentu punya hak untuk memberi masukan yang positif agar sebuah organisasi dapat berjalan dengan baik. Dan pemimpin harus ikhlas dan sabar ketika mendapat kritik.
"...Jadilah kalian orang yang rabbani, yaitu yang mempelajari al-kitab dan mengajarkannya." (QS.3:79)

"Katakanlah: Inilah jalanku, berdakwah kepada Allah dengan hujjah yang nyata, aku dan orang-orang yang mengikutiku...."
(QS. 12:108)

Pernah ada Masanya

 Pernah ada masa-masa dalam cinta kita
kita lekat bagai api dan kayu
bersama menyala, saling menghangatkan rasanya
hingga terlambat untuk menginsyafi bahwa
tak tersisa dari diri-diri selain debu dan abu

pernah ada waktu-waktu dalam ukhuwah ini
kita terlalu akrab bagai awan dan hujan
merasa menghias langit, menyuburkan bumi,
dan melukis pelangi
namun tak sadar, hakikatnya kita saling meniadai

di satu titik lalu sejenak kita berhenti, menyadari
mungkin hati kita telah terkecualikan dari ikatan di atas iman
bahkan saling nasehatpun tak lain bagai dua lilin
saling mencahayai, tapi masing-masing habis dimakan api

kubaca cendikiawan dinasti ming, feng meng long
menuliskan sebaitnya dalam ‘yushi mingyan’;
“bungapun layu jika berlebih diberi rawatan
willow tumbuh subur meski diabaikan”

maka kitapun menjaga jarak dan mengikuti nasihat ‘ali
“berkunjunglah hanya sekali-sekali, dengan itu cinta bersemi”

padahal saat itu, kau sedang dalam kesulitan
seperti katamu, kau sedang perlu bimbingan
maka seolah aku telah membiarkan
orang bisu yang merasakan kepahitan
menderita sendiri, getir dalam sunyi
-ataukah memang sejak dulu begitulah aku?-

dan sekarang aku merasa bersalah lagi
seolah hadirku kini cuma untuk menegur
hanya mengajukan keberatan, bahkan menyalahkan
bukan lagi penguatan, bukan lagi uluran tangan
-kurasa uluran tanganku yang dulupun membuat kita
hanya berputar-putar di kubangan yang kau gali itu-

kini aku hanya menangis rindu membaca kisah ini;
satu hari abu bakar, lelaki tinggi kurus itu menjinjing kainnya
terlunjak jalannya, tertampak lututnya, gemetar tubuhnya
“sahabat kalian ini”, kata Sang Nabi pada majelisnya, “sedang kesal
maka berilah salam padanya dan hiburlah hatinya..”

“antara aku dan putera al khaththab”, lirih abu bakar
dia genggam tangan nabi, dia tatap mata beliau dalam-dalam
“ada kesalahfahaman. lalu dia marah dan menutup pintu rumah.
kuketuk pintunya, kuucapkan salam berulangkali untuk memohon maafnya,
tapi dia tak membukanya, tak menjawabku, dan tak juga memaafkan.”

tepat ketika abu bakar selesai berkisah, ‘umar datang dengan resah
“sungguh aku diutus pada kalian”, Sang Nabi bersabda
“lalu kalian berkata ‘engkau dusta!’, wajah beliau memerah
“hanya abu bakar seorang yang langsung mengiya, ‘engkau benar!’
lalu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya.
masihkah kalian tidak takut pada Allah untuk menyakiti sahabatku?”

‘umar berlinang, beristighfar dan berjalan simpuh mendekat
tapi tangis abu bakr lebih keras, air matanya bagai kaca jendela lepas
katanya, “tidak ya Rasulallah.. tidak.. ini bukan salahnya..
demi Allah akulah memang yang keterlaluan..”
lalu diapun memeluk ‘umar, menenangkan bahu yang terguncang

ya Allah jika kelak mereka berpelukan lagi di sisiMu
mohon sisakan bagian rengkuhannya untuk kami
pada pundak, pada lengan, pada nafas-nafas ini..

salim a. fillah –www.fillah.co.cc-

my facebook

Popular post

-.-